MANADO : Kota Nyiur Melambai, Kota yang Diberkati Tuhan













Sebelum berangkat, teman-teman bilang, "Ke Manado, belum lengkap rasanya kalau belum ke Bunaken". Nyatanya, justru Bunaken malah tidak sempat saya kunjungi.

Perjalanan saya ke Manado, dimulai dari suasana bandara Soekarno-Hatta yang amat sibuk hari itu. Ini hari normal, Kamis. Bukan hari libur atau weekend. Terminal I, tempat maskapai Lion beroperasi--yang akan saya tumpangi--dipenuhi sesak para penumpang. Semua jalur ramai.

Setelah terbang selama kurang lebih empat jam, dengan transit di bandara Hasanuddin Makassar, pesawat mendarat dengan mulus di bandara Sam Ratulangi, Manado. Saat roda pesawat hampir menyentuh tanah, terlihat di sebelah kanan dan kiri pesawat, hamparan pohon kelapa yang melambai-lambai. Berjejer rapi, tinggi dan batang pohonnya ramping.

Tim yang menyambut saya di bandara langsung mengajak makan siang. Jarum jam saat itu menunjukan waktu pukul 14.00 WITA. Waktu yang sudah melewati jam makan siang. Tujuan kami adalah Rumah Makan Mapanget, yang ditempuh kurang lebih hanya 15 menit dari bandara.

Saat kami datang, beragam jenis makanan dari bahan ikan telah tersaji. Kuah asam, ikan bakar, udang goreng, cumi bumbu mentega dan cah kangkung seolah berlomba menarik minat kami yang datang saat itu. Tidak ketinggalan, sambal dabu-dabu dan rica-rica tersaji dengan manis pada piring kecil di samping nasi yang masih mengebul.

Saya langsung menyeruput kuah asam, dengan mengambil satu potong ikan di dalamnya. "Hm...hm...asam-asam gurih.... Tapi tidak amis", batin saya. Berkali-kali bibir saya katupkan, untuk merasakan sensasi kuah agar lebih sempurnya rasanya. Belum puas, saya ambil satu potong ikan lagi di mangkuk kuah asam di depan saya. Saya tidak ingin tergesa-gesa menyantap makanan yang lain.

Mengingat banyaknya makanan yang tersaji, saya memutuskan mengambil nasi dalam porsi yang teramat sedikit. Selebihnya, potongan ikan bakar yang memenuhi piring saya. Daging-daging ikan yang putih sedikit kering, saya taburi garam. Sebelumnya, irisan jeruk nipis telah saya peras untuk membasahinya. Dengan dicocolin pada sambal rica-rica, potongan ikan nan gurih dan empuk ini, menjadi makanan pokok siang itu. "Selama ini nasi telah memenuhi porsi utama piring saya jika sedang makan. Sekali-kali kini ikan. Gratis lagi", saya menggumam sambil mesam mesem.

Menghabiskan aneka makanan dengan penuh ragam menu, ternyata perlu menghabiskan waktu yang cukup lama. Belum ketawa ketiwi, sambil ngobrol. Setelah hampir tiga jam menyantap makanan, saya diantar Tim yang menjemput, segera menuju hotel Ritzy. Rencananya saya dua malam di hotel ini, sampai Sabtu. Walaupun Minggu masih ada di Manado, tapi hari Sabtu, kami mesti berpindah hotel, karena ada Kongres ISEI di Manado. Rencananya, presiden bermalam di hotel ini.

Hotel Ritzy terletak di depan boulevard Teluk Manado. Di depannya persis pantai, yang mulai dipenuhi dengan bangunan ruko dan pusat perbelanjaan. Jalan, ruko dan pusat perbelanjaan yang ada adalah hasil reklamasi pantai. Termasuk saat itu, alat-alat berat juga masih terus melakukan pengurukan untuk reklamasi.

Di depan hotel, banyak taksi yang mangkal. Taksi di Manado bukan sedan seperti di Jakarta. Tapi jenis kendaraan niaga, Panther atau Kijang. Yang menarik adalah angkotnya. Semua angkot di Manado posisi kursinya menghadap ke depan. Persis seperti mobil Kijang, walaupun jenisnya lebih kecil, sejenis Suzuki Carry.

Yang heboh sekarang adalah angkotnya berlomba-lomba memasang peralatan audio dengan yahud. Suaranya dem...dem..., lengkap dengan equalizer-nya. "Anak-anak muda di Manado tidak akan mau naik jika angkotnya tidak dilengkapi musik. Ya, sedang trend di sini.", kata seorang anggota Tim yang menjadi pemandu saya selama di Manado.

Jamuan makan malam hari itu, kami lewati di atas pantai. Restoran RIA RIO, yang lumayan besar dan luas, berdiri kokoh di atas laut, di tepi pantai. Dari arah hotel Ritzy, lurus, melewati boulevard. Di tempat ini, banyak berjejeran restoran serupa. Seperti Restoran KARISMA, yang kelak kami singgahi pada malam berikutnya.

Menunya tidak jauh berbeda dengan saat kami baru tiba di Manado, di Rumah Makan Mapanget. Semua jenis sea food disajikan. Udang, cumi, ikan baronang, kuah asam. Tak ketinggalan adalah kepiting yang sangat besar. Seru.

Hari Sabtu, saya makan siang di Restoran HILTOP yang berada di atas bukit, sekitar perjalanan setengah jam dari Hotel GRAN PURI. Saya sudah tidak bisa memperpanjang untuk menginap di hotel Ritzy. Persiapan Kongres ISEI dan kedatangan presiden di hotel itu, membuat kamar tidak ada yang tersisa.

Setelah kenyang menyantap aneka jenis makanan Chinese Food, tujuan saya adalah ke Bukit Kasih di Kanonang, Tomohon. Perjalanan memasuki wilayah Tomohon mengingatkan saya pada jalan di wilayah Magelang yang agak menanjak. Curam. Berkelok, dengan di kanan kiri hamparan pohon kelapa yang berdiri cantik. Rapi.

Dari Manado ke pusat kota Tomohon, memakan waktu sekitar satu setengah jam. Sepanjang jalan, tak henti-hentinya handycam saya nyalakan. Pemandangan bendera-bendera negara asing, mencengangkan saya. "Pak, kalau Piala Dunia jangan heran semua rumah memasang bendera negara jagoan mereka", kata Edwin, yang menjadi pemandu saya saat itu.

Saya jadi teringat, sehari sebelumnya pemandangan hampir serupa saya temui di jalan-jalan di kota. Bedanya, bendera dengan ukuran kecil, dipasang di mobil-mobil, bahkan angkot. Rupayan, menjadi tradisi khusus masyarakat Manado. Tak peduli di pelosok desa, semua memasang bendera negara kesebelasan yang mereka cintai. Seolah berlomba, mereka memasang tinggi-tinggi di atas atap rumah. Dengan tiang bambu.

Setelah berjuang menahan rasa kantuk selama di jalan dan puas mengambil gambar, saya sampai juga di Bukit Kasih. Pandangan mata saya langsung tertuju kepada dua patung yang menempel di atas bukit. Ukuran besar, tampak muka. Sepertinya lelaki dan perempuan. Kata Rifan, pemandu lokal kepada saya, "Itu mencerminkan gambar pendahulu masyarakat Manado".

Seperti layaknya tulisan Hollywood, di atas bukit, tertera t ulisan BUKIT KASIH dengan ukuran yang cukup besar. Di lembah bukit, tampak gelembung air menyemburkan asap yang tebal. Rupanya itu adalah kolam air panas. Yang membuat saya terheran-heran, kolam air panas inilah yang menjadi "media rebus" telur ayam kampung yang dijual di warung-warung kopi di tempat ini.

Akibat hawa dingin dan suasana lembab yang saya rasa, warung kopi menjadi tujuan saya untuk sekadar istirahat sebentar sebelum mendaki puncak bukit ini. Saya minta diseduhkan kopi tubruk ukuran besar, dan telur rebus setengah matang dua butir. Bergegas Om Warung memasukkan telur ke kantong plastik, untuk selanjutnya dengan menggunakan bambu, dicelupkan ke kolam air panas di depan warung. Tidak butuh waktu lama, hanya sekitar lima menit, telur diangkat. Ditaburi merica dan garam, telur tersebut saya kocok di gelas kecil. Glek...seketika kerongkongan saya terasa hangat.

Minum kopi tidak lengkap jika tanpa makan kacang sangrai Kanonang. Kacangnya besar-besar, bersih, dan monjo (English = worthed). Tanpa terasa, perut sudah kenyang. Kini giliran saya mesti mendaki puncak Bukit Kasih. Rifan dan Om Le, dua orang pemandu lokal, mengantarkan saya. "Pak kita jalan lewat tengah bukit saja. Cepat. Tidak perlu menaiki tangga itu", kata Rifan sambil menunjuk tangga berundak yang disediakan buat pengunjung.

Dengan berjalan melalui tebing curam ini, sangat berbahaya tentunya. Bahaya itu baru saya sadari saat sudah tiba di separuh perjalanan mendaki bukit. Saya yang tidak ada pengalaman pencinta alam benar-benar mengalami ketakutan yang luar biasa. Apalagi, saat harus melangkah dan menapaki batu yang harus tepat pijakannya. Saya minta turun. Tapi, justru kalau turun malah lebih berisiko karena medannya yang sangat curam. Baru saya sadari, kesalahan saya karena seringnya saya melihat ke bawah. Mestinya, saya tinggal mendaki saja, tanpa harus sebentar-bentar menengok ke bawah.

Akhirnya setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam, saya tiba di puncak Bukit Kasih. Di puncak, gambaran kedamaian dan keindahan sebuah keberagaman, benar-benar diciptakan. Ada masjid, gereja, pura dan vihara. Oleh pemerintah Kota Tomohon, bukit ini memang diciptakan untuk mencari ketenangan. Mendekatkan diri kepada Tuhan.

Saya memang tidak ke Bunaken kali ini. Entah kapan, saya ada kesempatan pergi ke Manado lagi. Saya ingat saat tim rombongan mengantar kepulangan saya ke Jakarta, Minggu siang. Kata mereka, "Torang Samua Basudara".

Di pesawat saya melamun. "Orang-orang Kawanua sangat terbuka. Senang makan dan kongkow-kongkow. Asik. Tidak tampak basa-basi yang kadang benar-benar basi. Menyesal rasanya jika saya tidak segera kembali. Ke Bumi yang Diberkati Tuhan, dan Semakin Diberkati." Saya tertidur. Pulas.

(Kundiyarto M. Prodjotaruno)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

New Page 1