Jakarta Banjir

Banjir kali ini, kata kawan saya, lebih heboh dari lima tahun lalu—di bulan yang sama, Februari 2002. Saya mengamini pendapat kawan saya. Banjir 2002, saya terjebak. Saat menuju ke arah Petukangan, di daerah Jakarta Selatan—tempat saya tinggal—saya tidak bisa menyeberang di depan Pasar Cipulir. Malam hari, sekitar jam delapan, orang dewasa pun akan tenggelam jika nekad menyeberang. Saya putar balik. Dalam guyuran hujan lebat, saya meneruskan perjalanan hingga tiba di daerah Pejambon, menuju mess teman saya yang bekerja di daerah ini.

Kini tentang banjir 2007. Jumat pagi (02/02/07), saya ke luar rumah sekitar jam 9 pagi. Saya kesulitan mencari taksi. Jalanan sepi. Mirip seperti Hari Lebaran. Sepanjang Jalan Ciledug Raya yang terlihat adalah sepeda motor yang berseliweran. Mereka pun sepertinya sedang bingung. Bukan lagi mencari jalan tikus. Tapi mungkin, jalan semut. Hujan masih turun, walaupun tidak selebat malam harinya.


Setelah telepon sana sini—radio, koran, teman-teman kantor—akhirnya saya memutuskan tidak masuk kantor hari itu. Jakarta lumpuh. Sebuah bank yang berkantor di lantai satu gedung tempat saya berkantor—menurut info teman saya yang bisa sampai ke kantor—tutup. Karyawannya tidak bisa berangkat ke kantor karena kendaraan umum tidak jalan. Ada juga yang rumahnya kebanjiran. Kawan saya bergegas mencari “kegiatan lain” karena kantor kami diliburkan. Hanya tiga orang yang bisa sampai ke Jl. Gatot Subroto, akhirnya mereka jalan-jalan menyusuri Jakarta yang sedang banjir. Rupanya karena banyak kendaraan yang tidak bisa sampai ke jalan protokol, kondisi jalan saat itu relatif lengang. Kawan-kawan saya menghabiskan hari itu dengan “wisata banjir”.

Hari Jumat-Minggu (04/02/07) adalah hari-hari yang hampir semua orang tidak bisa ke mana-mana. Kondisi jalan masih belum sepenuhnya normal.

Tiba hari Senin (05/02/07), kondisi jalan masih saja belum normal. Manajemen kantor kami memutuskan untuk masih tidak masuk kantor. Libur. Hari itu saya putuskan untuk meninjau kondisi teman satu kantor yang terendam banjir, di daerah Ciledug. Saya telepon teman lain barangkali bisa bergabung dengan saya ke Ciledug. Akhirnya kami janjian. Sang empunya rumah, berangkat dari “tempat pengungsian” di daerah Petojo. Teman yang satu, berangkat dari daerah Pos Pengumben. Kami bertiga ketemu di Borobudur Plasa, sebelum perempatan Ciledug. Dari Borobudur Plasa, kami naik ojek. Sesampai pertigaan pintu masuk komplek, berbagai posko terlihat di sepanjang bahu jalan.

Di teras masjid, terlihat beberapa orang berbaju putih sibuk mondar mandir. Mereka adalah para perawat. Tenaga medis. Rupanya di sini dijadikan pusat pelayanan kesehatan. Di depan pintu gerbang komplek, posko dari perusahaan telekomunikasi, obat, mie penuh sesak dengan orang yang bergerombol. Ini pas jam makan siang. Mereka sedang antusias mendapatkan nasi bungkus gratis yang dibagikan. Dua buah perahu karet, tergeletak. Lima orang di atasnya sedang asik ngobrol Mereka terlihat lelah. Istirahat sambil mendengarkan radio lewat earphone.
Air setinggi paha telah menanti kami. Sejak dari Borobudur, kami bertiga telah mempersiapkan celana pendek. Kami segera melepas celana panjang. Bertelanjang kaki, kami menyusuri sepanjang jalan komplek. Sampai di rumah teman saya, sekitar 200 meter. Lumayan. Kaki agak gatal, dan sesekali pantat bergoyang karena menginjak sesuatu. Sebuah bantal guling menabrak paha saya.

Akhirnya kami sampai juga di rumah yang dituju. Parah. Lantai satu rumahnya habis. Kami sampai di terasnya yang masih setinggi paha orang dewasa. Pintunya susah dibuka. Akhirnya didobrak. Saya yakin, kalau mendengar cerita teman saya, saat puncak banjir tiba, Jumat dini hari (02/02/07), air bisa dipastikan bisa menenggelamkan orang dewasa. Menurut laporan berbagai media, daerah Ciledug—baik Ciledug Indah I maupun II—merupakan daerah yang cukup parah terkena musibah.

Saya tertegun. Spring bed teronggok. Berat, terisi air. Warnanya telah cokat kehitaman dari yang semula krem. Kursi sofa bergulingan tak karuan. Mungkin saat kejadian teman keluarga teman saya tergesa-gesa mengaturnya. Teman saya kebetulan saat kejadian tidak ada di rumah. Ia sedang mengunjungi orang tuanya di daerah Petojo.

Saya bilang, “Untung loe. Coba kalo mobil Soluna loe ada di sini. Bisa mampus loe !” Tak peduli sedang kena musibah, saya katakan dengan nada bercanda. Dino, teman saya yang sedang kena musibah, balas menjawab, “Ah loe bisanya omong. Coba kalo loe yang kena seperti gua, bisa mampus juga loe !”.

Teman saya yang dari Pos Pengumben ikutan menimpali, “Eh denger ye loe pade ngapain dari tadi berdiri gitu. Mendingan kita angkat-angkat barang. Emang loe patung berdiri terpaku ?”. Teman saya ini, yang masih keturunan Hadramaut, Fadlan, berkata keras seolah memarahi kami berdua. Akhirnya kami beranjak ke lantai atas untuk meletakkan barang bawaan kami.

Di lantai dua aman. Banyak barang berserakan. Sebuah televisi ukuran cukup besar, 21 inc sempat terendam. Komputer dan barang elektronik lainnya terselamatkan di lantai atas ini.

Saya tanya ke Dino, “Siapa yang bawa barang-barang ini ke lantai dua ?” Katanya tetangga rumahnya. “Mereka membantu nyokap isteri yang memang tinggal di sini dengan seorang pembantu”, tutur Dino.

Saya menyesalkan sebuah kulkas yang tidur terlentang di lantai satu di atas ranjang. Saat akan naik ke lantai dua, kulkas tersebut sempat kita tengok bersama. Terbalik dan tidak didirikan, kulkas tersebut terselamatkan oleh sebuah ranjang yang menjadi tempat sandarannya. Sempat terendam sedikit. Sayang. (*)






0 Comments:

Post a Comment

<< Home

New Page 1