Trancam : Urap Berasa Karedok ?

Beberapa waktu yang lalu kantor saya diundang untuk mengisi dan menyiapkan acara pelatihan untuk para anggota koperasi, di Nongkojajar, Pasuruan. Di daerah dingin lereng Gunung Bromo yang jika sudah mendekati Maghrib hawanya mak sruuppp, dingin hingga ke tulang itu, makanan yang enak adalah dengan cita rasa dan aroma pedas dan panas.

Nasi rawon, sudah pasti menjadi salah satu andalan menu Jawa Timur-an yang sudah amat terkenal itu. Kuah hitam karena kluwek dengan kandungan rasa jahe yang membuat tenggorokan menjadi berasa hangat, bercampur dengan aroma daun sereh hingga menjadi sedikit pedas.

Tentu lain pedas dan hangat bukan karena lada atau merica seperti yang sering kita rasakan jika sedang makan bakso atau sup. Biasanya tersisa rasa pedas dan sisa hangat di tenggorokan atau di langit-langit mulut. Beberapa menu pedas yang kami santap selama di Nongkojajar adalah sayur lodeh yang lumayan galak dan oseng-oseng kikil yang sungguh gurih itu. Tapi pengalaman lain yang saya rasakan saat itu adalah rasa gurih dari hasil olahan sayuran bernama "trancam".

Trancam terlihat seperti urap atau kluban, begitu biasanya orang di Jawa Tengah menyebutnya. Atau mirip-mirip karedok, jika dilihat dari jenis sayuran dan karena mentahnya. Sejatinya campuran dari itu semua. Trancam berupa campuran potongan kacang panjang mentah yang dicacah kecil-kecil, ketimun dipotong kecil-kecil juga, ditambah dengan daun kemangi.

Sepertinya begitu sederhana. Tapi yang akan menjadi istimewa adalah adonan bumbunya yang terbuat seperti urap. Parutan kelapa muda, dengan cita rasa yang begitu pas. Saya menerka cita rasa itu adalah hasil dari kombinasi cabe merah, bawang merah, bawang putih, kencur dan tentu daun salam. Pasti bumbunya diuleg, yang setelah itu ditumis. Rasa manis keluar dari gula jawa yang membuat rasa menjadi lebih khas.

Kesan setelah menyantap trancam adalah segar dan hangat. Segar, karena parutan kelapanya itu diberi dengan kombinasi bumbu yang sempurna. Pedasnya, manisnya, berikut bau wangi karena daun kemangi. Trancam biasanya juga diberi tauge.

Saya coba cari di google, konon trancam berasal dari Jawa Tengah. Tapi selama saya hampir usia saya, saya belum pernah mendapati jenis makanan ini, dalam acara apa pun. Baik arisan keluarga, resepsi, atau di rumah makan. Oh, ternyata begitu kayanya pusaka kuliner nusantara. Trancam...trancam...[kmp]

 

Soto Gandaria

Di warung soto ceter ini, sate jeroan ayam—sebagai pelengkap makan soto selain kerupuk kulit ayam dan kerupuk udang—dikelompokkan. Tidak seperti di warung bubur ayam, yang kadang digabung menjadi satu, tidak dipisah-pisah. Di sini, hati ditusuk menjadi satu, terdiri dari lima potong. Begitu pula ampela atau telur ayam yang belum jadi, pun terdiri dari lima potong. Yang terakhir, seperti yang tersedia di beberapa warung sate ayam yang begitu tersohor—Sate Santa, Sate Sambas, atau Sate depan RS Pertamina. Warnanya kuning sebesar telur puyuh. Gurih, tapi tidak bisa dihindari, jelas mengandung kadar kolesterol yang cukup tinggi.

Menempati areal di sepanjang "trotoar" Taman Gandaria, untuk masuk ke soto ceker ini, dari arah Pakubuwono, terus melewati Jalan Bumi, belok kanan arah Pasar Taman Puring langsung ambil kiri ke arah Gandaria, tepatnya Jalan Gandaria I. Di arah kiri akan ditemui Jalan Gandaria V, ambil satu jalan lagi, tepatnya Jalan Gandaria VI.

Jangan lupa, yang sedang saya ceritakan adalah soto kedua, yang terletak setelah warung soto yang pertama. Persis begitu kita masuk di belokan yang kedua ini, akan ditemui warung soto ceker yang pertama, dengan spanduk terbentang berukuran sekitar 1 X 1 M, bertuliskan Soto Ceker Arifin. Di sini semua pelayan menggunakan kaos seragam. Kalau memang ingin mencoba keduanya untuk merasakan perbedaan baik cita rasa maupun suasananya, boleh juga kita mencoba soto ceker yang pertama, yang sebetulnya "crowd" nya terlihat juga tatkala kita melintas ke arah Radio Dalam dari kawasan Taman Puring, di Jalan Gandari I tadi.

Kembali ke soto ceker yang kedua itu. Kita masuk lagi, hingga menemui bundaran taman yang separuhnya dikelilingi hamparan meja panjang—masing-masing berkursi untuk enam orang. Di atas meja, menyala dengan temaram dua buah lilin yang ditempatkan dalam gelas plastik bekas air mineral. Gerobak khas kaki lima sebagai pusat pelayanan, berdampingan dengan warung rokok dan minuman dingin. Di sini, semua pelayan bebas berbusana. Kebanyakan menggunakan T-Shirt. Tidak seperti di warung soto pertama, yang berkaos warna merah dan berkerah, bertuliskan Soto Ceker Arifin.

Seperti saya kabarkan ke teman-teman semua di milis ini, saya beberapa kali dan sering, makan soto ceker, berdua dengan rekan kerja saya, sehabis pulang kerja. Biasanya pukul tujuh malam. Setelah merasakan kualitas cita rasa yang lebih pas di warung soto ceker yang kedua, saya sudah tidak pernah lagi menyantap Soto Ceker Arifin yang terletak di depan itu. Beberapa kali pula, saya ceritakan kepada bos saya, sensasi berbeda tatkala kita makan soto ceker yang dilanggan setia oleh kalangan muda, mahasiswa, orang kantoran dan eksekutif muda, hingga para pegawai negeri dari Kantor Dinas DKI. Beberapa kali saya temui orang-orang berseragam kantor, khas PNS.

Semalam, akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu datang juga. Setelah keinginan menyantap Bakmi Permata tidak terlaksana karena telanjur ke luar dari Wisma 46, saat balik ke arah Pondok Indah, di kawasan Jalan Sudirman, saya berucap, "Mumpung melewati, mungkin ini saat yang tepat kita mencoba soto ceker itu Pak". Bos saya mengiyakan—walaupun dari ekspresinya, mungkin ia masih setengah-setengah, atau ada perasaan sungkan dan enggak enak karena seringnya saya mengajak untuk mencoba makan soto yang buka sejak pukul setengah enam sore ini kepadanya. Untuk Bakmi Permata, dari beberapa lokasi yang ada, Bakmi Permata Wisma 46 menurut saya adalah yang paling enak, selain lokasinya yang paling besar—sebelum sekarang ada outlet di Plaza Indonesia yang sangat luas itu.

Malam itu, cuaca sangat cerah. Bulan di langit hampir saja muncul penuh. Ini bukan saat bulan purnama. Kami tiba sekitar pukul tujuh lewat beberapa menit. Sampai di Kawasan Taman Gandaria, semua meja penuh. Saya bilang ke salah satu pelayan, kami perlu tempat duduk untuk empat orang. Pelayan itu mengantarkan kami ke satu meja yang terletak di ujung. Di sini, meja-meja mengeliling kawasan taman, hampir setengahnya. Ada sekitar tujuh meja, masing-masing berisi enam orang. Meja yang dimaksud pelayan tadi, bukan tidak ada pengunjungnya, hanya, meja terakhir ini, diisi oleh dua orang pengunjung, hingga menyisakan empat kursi buat kami.

Meja lain, semua penuh ! Wow ! Bayangkan saja, jika satu rombongan (biasanya yang datang ke sini selalu berombongan, paling tidak berdua) memerlukan waktu setengah jam untuk makan, maka dalam waktu itu pula, empat puluh orang lebih, telah membelanjakan paling tidak 1o ribu per orang. Hampir setengah juta, diperoleh dalam waktu setengah jam saja.

Dengan memperkirakan jam beroperasi hanya lima jam (buka sejak pukul setengah enam sore dan biasanya pukul 10an malam sudah habis), teman saya memperkirakan setidaknya ada sekitar 300-500 porsi setiap malam disajikan di warung soto yang minumannya, seperti jeruk panas dan teh botol, disajikan dari penjual lain di sampingnya. "Ya mereka bisa transfer price", kata kawan saya.

Kami beruntung, ketika pesanan kami datang, bertepatan dengan selesainya makan kedua orang yang satu meja dengan kami. Saya dan teman saya, pesan dua porsi soto ceker (satu mangkuk hanya berisi kaki ayam, tanpa bihun dan tauge, lalu disiram kuah soto). Ini dikenal dengan sebutan, oleh para pelayan, "cekernya saja Mas ?". Bos saya dan seorang kawan lainnya, pesan soto ayam. Soto ayam di sini, terdiri dari bihun, tauge, suwiran daging ayam, dan, yang sudah pasti ceker ayam yang mak nyus itu. Jika disajikan begini, cekernya hanya berisi dua. Kalo "cekernya saja", saya lupa, berisi antara tujuh atau sepuluh.

Tak lupa, kerupuk kulit ayam dan kerupuk udang kami minta untuk disajikan. Bos saya menikmati dengan lahap sepiring nasi putih yang terpisah dengan soto ayam. Di sela-sela menyantap soto ayam itu, ia dengan nada protes bilang ke saya, "Wah Kun, ceker saya hanya ada dua. Minta jatah kamu ya !". Akhirnya agar tidak kantu dan tidak mengurangi kenikmatan selama kami makan, saya pesan lagi satu porsi "cekernya saja".

Saya menyeruput kuah soto di warung ini, dengan bibir yang masih membuka sehabis meneguk cita rasa gurih dan segar dari kaldu kaki ayam yang tidak meninggalkan bekas rasa eneg itu. Sebelum saya seruput, tak lupa dua potong jeruk nipis saya peras, agar lebih memberikan rasa segar pada kuah soto ini. Sambal cabe, saya tuang sedikit dari botol. Saya tidak menambahkan kecap manis. Bolak-balik, bibir saya berdesis dan membuka, "sshhhtt...hmm..am....". Sangat berbeda ketika kita mengecap jamuan makan resmi yang mengharuskan bibir nyaris selalu terkatup.

Seperti di warung-warung soto lainnya, di warung soto ceker ini, di setiap meja disediakan sebotol kecap manis dan sambal cabe, yang terbuat dari tumbukan cabe rawit merah. Makan di sini kita tidak perlu jaim. Ceker saya pegang langsung dengan tangan. Kadang bergantian tangan kiri dan kanan. Tulang yang tersisa, saya muntahkan ke bawah di sela-sela kedua kaki saya. Bos saya agak rikuh. "Kun, tulangnya dibuang di bawah sini gak papa", katanya sambil menengok ke bawah, yang di kolong meja ada seekor kucing sedang berpesta menghabiskan sisa tulang yang kami makan.

Bos saya sedang menikmati suasana lain yang tentu berbeda sensasinya ketika kita makan kaki ayam yang ada di MING Setiabudi One, atau di The Duck King PIM 2, yang berkursi empuk, berpendingin ruangan, peralatan makan yang mewah dan para pelayan selalu berdiri di samping kita untuk sekadar menuangkan teh kita yang sudah habis, atau mengganti peralatan makan kita yang sudah terlihat kotor dan baru saja kita pakai. Di kedua resto kelas atas ini kaki ayam begitu kelihatan cantik dan gemuk, tersaji di atas tempat dimsum dari anyaman bambu.

Kaki ayam itu berwarna menarik—kadang merah, sedikit kuning, tergantung cara pengolahan dan borehan bumbu atau proses perendaman sebelum kaki ayam itu dimatangkan. Kalau di warung soto malam itu, kaki ayamnya tidak jarang ada satu-dua yang hancur, karena proses perebusan yang memerlukan waktu lama, agar kulit-kulit kakinya, mudah kita santap. Namun demikian, bagi saya, tetap saja "cita rasa rempah-rempah tradisional", sering kali mengalahkan semua cita rasa restoran kelas atas atau hotel-hotel berbintang, yang, hanya mengandalkan aneka rasa dan jenis saus.

Di warung sato ceker yang menggunakan mangkuk lebih besar dari pada yang biasanya kita temukan di warung bakso atau warung soto kebanyakan, nasi putih, seperti biasanya di tempat-tempat makan lainnya, disajikan dengan taburan bawang goreng, agar ketika makan menjadi lebih nikmat. Mengenai kuah sotonya, sejatinya kuah di warung soto ceker ini tidak terlalu bening seperti soto semarangan, tetapi juga tidak sekeruh soto lamongan—yang amat keruh karena ada taburan poya-nya.

Tapi yang jelas, kuah di sini tidak bersantan. Rasanya tidak terlalu tajam dan pedas karena kandungan jahe dan sereh nya yang memang tidak terlalu dominan. Tidak pula terlalu asin. Tapi lebih cenderung gurih. Ini tak terhindarkan karena kandungan kaldu dari ribuan kaki ayam yang direbus bersamaan. Bayangkan, jika semalam tersaji 300 porsi dengan masing-masing berisi 10 kaki ayam, maka ada 3000 kaki ayam yang harus dimasak setiap hari.

Malam itu, kami berempat, dengan menyantap lima porsi soto, tujuh sate, empat kerupuk kulit, satu kerupuk udang, segelas jeruk panas, tiga porsi nasi putih, dan tiga teh botol, menghabiskan delapan puluh lima ribu rupiah. Nasi putih di sini satu porsi hanya dua ribu. Soto, apa pun penyajiannya, satu porsi harganya tujuh ribu.

Selama hampir setengah jam lebih kami makan, saya hitung ada sekitar 10 orang yang sedang mengantre di sekitar kami. Mereka menunggu sambil berdiri dan menenggak sebotol minuman dingin. Begitu kami selesai dan berdiri, seketika tiga orang langsung menempati kursi yang kami tinggalkan.

Sambil beranjak pulang, saya bertanya ke bos saya, "Bagaimana Pak ?"

"Enak Kun. Betul !", tuturnya sambil menyalakan sebatang rokok putih kesukaannya, Capri.


(Ciputat, 11/10/2008)

 

Jakarta Banjir

Banjir kali ini, kata kawan saya, lebih heboh dari lima tahun lalu—di bulan yang sama, Februari 2002. Saya mengamini pendapat kawan saya. Banjir 2002, saya terjebak. Saat menuju ke arah Petukangan, di daerah Jakarta Selatan—tempat saya tinggal—saya tidak bisa menyeberang di depan Pasar Cipulir. Malam hari, sekitar jam delapan, orang dewasa pun akan tenggelam jika nekad menyeberang. Saya putar balik. Dalam guyuran hujan lebat, saya meneruskan perjalanan hingga tiba di daerah Pejambon, menuju mess teman saya yang bekerja di daerah ini.

Kini tentang banjir 2007. Jumat pagi (02/02/07), saya ke luar rumah sekitar jam 9 pagi. Saya kesulitan mencari taksi. Jalanan sepi. Mirip seperti Hari Lebaran. Sepanjang Jalan Ciledug Raya yang terlihat adalah sepeda motor yang berseliweran. Mereka pun sepertinya sedang bingung. Bukan lagi mencari jalan tikus. Tapi mungkin, jalan semut. Hujan masih turun, walaupun tidak selebat malam harinya.


Setelah telepon sana sini—radio, koran, teman-teman kantor—akhirnya saya memutuskan tidak masuk kantor hari itu. Jakarta lumpuh. Sebuah bank yang berkantor di lantai satu gedung tempat saya berkantor—menurut info teman saya yang bisa sampai ke kantor—tutup. Karyawannya tidak bisa berangkat ke kantor karena kendaraan umum tidak jalan. Ada juga yang rumahnya kebanjiran. Kawan saya bergegas mencari “kegiatan lain” karena kantor kami diliburkan. Hanya tiga orang yang bisa sampai ke Jl. Gatot Subroto, akhirnya mereka jalan-jalan menyusuri Jakarta yang sedang banjir. Rupanya karena banyak kendaraan yang tidak bisa sampai ke jalan protokol, kondisi jalan saat itu relatif lengang. Kawan-kawan saya menghabiskan hari itu dengan “wisata banjir”.

Hari Jumat-Minggu (04/02/07) adalah hari-hari yang hampir semua orang tidak bisa ke mana-mana. Kondisi jalan masih belum sepenuhnya normal.

Tiba hari Senin (05/02/07), kondisi jalan masih saja belum normal. Manajemen kantor kami memutuskan untuk masih tidak masuk kantor. Libur. Hari itu saya putuskan untuk meninjau kondisi teman satu kantor yang terendam banjir, di daerah Ciledug. Saya telepon teman lain barangkali bisa bergabung dengan saya ke Ciledug. Akhirnya kami janjian. Sang empunya rumah, berangkat dari “tempat pengungsian” di daerah Petojo. Teman yang satu, berangkat dari daerah Pos Pengumben. Kami bertiga ketemu di Borobudur Plasa, sebelum perempatan Ciledug. Dari Borobudur Plasa, kami naik ojek. Sesampai pertigaan pintu masuk komplek, berbagai posko terlihat di sepanjang bahu jalan.

Di teras masjid, terlihat beberapa orang berbaju putih sibuk mondar mandir. Mereka adalah para perawat. Tenaga medis. Rupanya di sini dijadikan pusat pelayanan kesehatan. Di depan pintu gerbang komplek, posko dari perusahaan telekomunikasi, obat, mie penuh sesak dengan orang yang bergerombol. Ini pas jam makan siang. Mereka sedang antusias mendapatkan nasi bungkus gratis yang dibagikan. Dua buah perahu karet, tergeletak. Lima orang di atasnya sedang asik ngobrol Mereka terlihat lelah. Istirahat sambil mendengarkan radio lewat earphone.
Air setinggi paha telah menanti kami. Sejak dari Borobudur, kami bertiga telah mempersiapkan celana pendek. Kami segera melepas celana panjang. Bertelanjang kaki, kami menyusuri sepanjang jalan komplek. Sampai di rumah teman saya, sekitar 200 meter. Lumayan. Kaki agak gatal, dan sesekali pantat bergoyang karena menginjak sesuatu. Sebuah bantal guling menabrak paha saya.

Akhirnya kami sampai juga di rumah yang dituju. Parah. Lantai satu rumahnya habis. Kami sampai di terasnya yang masih setinggi paha orang dewasa. Pintunya susah dibuka. Akhirnya didobrak. Saya yakin, kalau mendengar cerita teman saya, saat puncak banjir tiba, Jumat dini hari (02/02/07), air bisa dipastikan bisa menenggelamkan orang dewasa. Menurut laporan berbagai media, daerah Ciledug—baik Ciledug Indah I maupun II—merupakan daerah yang cukup parah terkena musibah.

Saya tertegun. Spring bed teronggok. Berat, terisi air. Warnanya telah cokat kehitaman dari yang semula krem. Kursi sofa bergulingan tak karuan. Mungkin saat kejadian teman keluarga teman saya tergesa-gesa mengaturnya. Teman saya kebetulan saat kejadian tidak ada di rumah. Ia sedang mengunjungi orang tuanya di daerah Petojo.

Saya bilang, “Untung loe. Coba kalo mobil Soluna loe ada di sini. Bisa mampus loe !” Tak peduli sedang kena musibah, saya katakan dengan nada bercanda. Dino, teman saya yang sedang kena musibah, balas menjawab, “Ah loe bisanya omong. Coba kalo loe yang kena seperti gua, bisa mampus juga loe !”.

Teman saya yang dari Pos Pengumben ikutan menimpali, “Eh denger ye loe pade ngapain dari tadi berdiri gitu. Mendingan kita angkat-angkat barang. Emang loe patung berdiri terpaku ?”. Teman saya ini, yang masih keturunan Hadramaut, Fadlan, berkata keras seolah memarahi kami berdua. Akhirnya kami beranjak ke lantai atas untuk meletakkan barang bawaan kami.

Di lantai dua aman. Banyak barang berserakan. Sebuah televisi ukuran cukup besar, 21 inc sempat terendam. Komputer dan barang elektronik lainnya terselamatkan di lantai atas ini.

Saya tanya ke Dino, “Siapa yang bawa barang-barang ini ke lantai dua ?” Katanya tetangga rumahnya. “Mereka membantu nyokap isteri yang memang tinggal di sini dengan seorang pembantu”, tutur Dino.

Saya menyesalkan sebuah kulkas yang tidur terlentang di lantai satu di atas ranjang. Saat akan naik ke lantai dua, kulkas tersebut sempat kita tengok bersama. Terbalik dan tidak didirikan, kulkas tersebut terselamatkan oleh sebuah ranjang yang menjadi tempat sandarannya. Sempat terendam sedikit. Sayang. (*)






 

Viva Italiano : NOBAR bo...!

Anda suka makan pizza ? Pasta, lasagna, atau makaroni ? Enak ? Bagi saya sih tidak terlalu enak. Paling tidak, rasanya tidak bisa dibandingkan ke-enak-annya dengan pecel ayam, soto, atau bubur ayam. Lain sekali bo !

"Minimal loe pernah makan menu-menu Eropa Kun. Paksakan aja. Memang agak neg seh", begitu kira-kira ajakan kawan saya, waktu saya baru pertama kali dijejali pizza, sekitar lima tahun yang lalu, saat baru tiba di ibu kota.

Kini saya tidak ingin mengupas tentang seluk beluk makanan Eropa itu, Italia tepatnya. Ini tentang demam sepak bola. Saya tidak mau ketinggalan untuk tidak menjadi bagian GIBOL. Gila bola ! Ya, sejak delapan besar saya rajin mengikuti pertandingan demi pertandingan yang ada.

Sempat bingung menentukan tempat nonton bareng (NOBAR), iseng-iseng saya telpon ke beberapa keduataan besar di Jakarta. Kedutaan Italia, saya pernah baca di KOMPAS, rutin menyelenggarakan NOBAR. Tepatnya di Pusat Kebudayaan Italia. Letaknya di Jl. HOS Cokroaminto, persis di seberang IZZI PIZZA.

Instituto Italiano di Cultura, demikian kata dalam bahasa Italia, yang berarti Pusat Kebudayaan Italia. Di tempat ini, beragam layanan ditawarkan. Selain ada pemutaran film secara gratis setiap jari Jumat malam, ada juga layanan kursus bahasa Italia.

Malam itu, Senin dini hari (10/07), pengunjung NOBAR luar biasa banyaknya. Saya yang datang sekitar jam 11 malam hari Minggu, tidak kebagian tempat duduk. Tiga barisan depan sudah reserved bagi keluarga dan relasi Kedutaan. Beruntung teman-teman saya akhirnya bisa duduk. Saya mondar mandir, dengan masih berdiri. Tujuan saya memang ingin lesehan di depan. Gokil bo !















Begadang sama bule-bule yang diantara mereka menenggak bir langsung dari botol, sangat mengasikkan. Apalagi ekspresi mereka, sami mawon dengan orang kita jika sedang teriak teriak di lapangan rumput, saat pertandingan Agustusan. Heboh ! Sesekali mereka masuk ke dalam ruang samping. Ya itu tadi, ambil potongan lasagna.

 

Wisata Kuliner di Bandung (2) : Het Snoephuis

Anda yang pernah ke Jl. Braga di Bandung, mungkin tidak begitu ngeh dengan toko roti yang satu ini. Ya, sekarang mungkin jamannya Kartika Sari, atau kue sus Merdeka. Het Snoephuis adalah nama yang asing bagi Anda, termasuk saya pasti.

Saya sendiri tidak tahu arti Het Snoephuis, kata dalam bahasa Belanda yang menandai toko kue yang sudah berdiri juga sejak jaman Belanda ini. Barang-barang atau perabotan peninggalannya masih sangat jelas. Bentuk toples, jenis oven dan bangunan toko roti ini masih seperti dulu. Kini, nama toko roti ini adalah Toko Roti Sumber Hidangan. Letaknya di Jl. Braga No. 20-22.

Di sebelah kanan bagian toko yang memajang kue dalam toples dan lemari kaca, terlihat mesin hitung jaman dulu kala, dengan ukuran yang sangat besar. Terbuat dari kayu, ada semacam alat putar untuk mengeluarkan hasil perhitungan. Sayang, saya tidak sempat ngobrol dengan pegawai toko yang duduk di samping mesin hitung ini. Tapi yang jelas, sudah tidak dipakai lagi.

Di sebelah mesin hitung, terdapat radio kuno yang berukuran dua kali monitor komputer yang kita pakai sekarang. Bayangkan, bagaimana besarnya radio ini. Yang jelas, bentuknya tidak se-ergonomis mini compo atau radio tape yang ada di rumah kita kini.

Ragam kue yang ditawarkan Toko Sumber Hidangan sangat lengkap. Dari roti tawar sampai roti-roti kecil seperti lidah kucing. Uniknya, pegawai toko roti ini adalah orang-orang tua. Bahkan ada yang sudah nenek-nenek. "Kun, pegawai di sini orangnya ya itu-itu saja. Bahkan mereka ada sejak saya kecil, sekarang sudah tua begitu", kata kawan saya yang asli Bandung sambil menyandarkan tubuhnya di kursi yang sudah agak lapuk dan menunjuk seorang pegawai toko yang sudah berambut putih.

(Kundiyarto M. Prodjotaruno)

Wisata Kuliner di Bandung (1)

Kali ini saya ingin cerita tentang makan dan jajanan di kota kembang, Bandung. Itu saja. Tidak yang lain.

Selama ini, Bandung terkenal dengan factory outlet dan aneka makanan yang sangat beragam. KOMPAS pernah meliputnya dalam laporan khusus hari Minggu. Lengkap dari kue sus, brownies, bakso dan seabreg jenis makanan Indonesia yang lain.

Hari Kamis dan Jumat akhir bulan Juni ini, saya berada di Bandung. Selain ada urusan kerjaan, saya juga ingin menyempatkan muter-muter di kota ini. Walau demikian, sebenarnya juga tidak terlalu direncanakan.

Salah seorang kawan, yang memang asli Bandung dan tinggal di Jl. Pasteur, dengan senang hati menemani saya dalam wisata kuliner singkat kali ini. Perjalanan kami mulai dengan makan siang di PUJASERA 487, seberang LPKIA, Jl. Soekarno-Hatta. Kantin yang ramai siang itu, dipenuhi dengan depot yang beragam. Bakso, pecel, ayam goreng, nasi rames, sea food dan aneka jus serta soft drink di counter minuman.



Sebagai appetizer, saya makan bakso Malang. Kuahnya gurih, tidak terlalu berlemak. Bakso urat, tahu putih, masih ditambah lagi dengan kerupuk pangsit. Nyam...nyam...benar-benar membangkitkan selera makan saya. Apalagi, walaupun saat itu jam 12 siang, tapi angin dan udara kota Bandung cukup dingin. Sebagai pelengkap makan bakso, saya pesan chicken stick dari counter sebuah perusahaan makanan olahan. Sedap bo !

Setelah puas makan bakso, saya pesan cumi dengan saos asam pedas. Dilengkapi ketimun dan tomat, cumi yang baru saja dimasak benar-benar makin menggugah nafsu makan saya. Lahap. Apalagi bumbu saos tiram yang dibubuhi irisan cabe rawit. Huih...Tidak ketinggalan, kerupuk menjadi pelengkap makan nasi cumi siang itu.

Rupanya hawa dingin masih tetap bertahan. Walaupun satu porsi bakso dan makan nasi cumi yang pedas telah saya santap, suhu tubuh juga belum terbantu menjadi "normal" seperti di Jakarta. Saya akhiri dengan pesan Milo panas. Lengkap sudah ritual makan siang saya. Sukses !

Dalam tulisan saya yang ke-2 nanti, saya akan ceritakan toko kue yang berdiri sejak jaman Belanda, di Jl. Braga. Lengkap dengan koleksi kunonya.

(Kundiyarto M. Prodjotaruno)

 

MANADO : Kota Nyiur Melambai, Kota yang Diberkati Tuhan













Sebelum berangkat, teman-teman bilang, "Ke Manado, belum lengkap rasanya kalau belum ke Bunaken". Nyatanya, justru Bunaken malah tidak sempat saya kunjungi.

Perjalanan saya ke Manado, dimulai dari suasana bandara Soekarno-Hatta yang amat sibuk hari itu. Ini hari normal, Kamis. Bukan hari libur atau weekend. Terminal I, tempat maskapai Lion beroperasi--yang akan saya tumpangi--dipenuhi sesak para penumpang. Semua jalur ramai.

Setelah terbang selama kurang lebih empat jam, dengan transit di bandara Hasanuddin Makassar, pesawat mendarat dengan mulus di bandara Sam Ratulangi, Manado. Saat roda pesawat hampir menyentuh tanah, terlihat di sebelah kanan dan kiri pesawat, hamparan pohon kelapa yang melambai-lambai. Berjejer rapi, tinggi dan batang pohonnya ramping.

Tim yang menyambut saya di bandara langsung mengajak makan siang. Jarum jam saat itu menunjukan waktu pukul 14.00 WITA. Waktu yang sudah melewati jam makan siang. Tujuan kami adalah Rumah Makan Mapanget, yang ditempuh kurang lebih hanya 15 menit dari bandara.

Saat kami datang, beragam jenis makanan dari bahan ikan telah tersaji. Kuah asam, ikan bakar, udang goreng, cumi bumbu mentega dan cah kangkung seolah berlomba menarik minat kami yang datang saat itu. Tidak ketinggalan, sambal dabu-dabu dan rica-rica tersaji dengan manis pada piring kecil di samping nasi yang masih mengebul.

Saya langsung menyeruput kuah asam, dengan mengambil satu potong ikan di dalamnya. "Hm...hm...asam-asam gurih.... Tapi tidak amis", batin saya. Berkali-kali bibir saya katupkan, untuk merasakan sensasi kuah agar lebih sempurnya rasanya. Belum puas, saya ambil satu potong ikan lagi di mangkuk kuah asam di depan saya. Saya tidak ingin tergesa-gesa menyantap makanan yang lain.

Mengingat banyaknya makanan yang tersaji, saya memutuskan mengambil nasi dalam porsi yang teramat sedikit. Selebihnya, potongan ikan bakar yang memenuhi piring saya. Daging-daging ikan yang putih sedikit kering, saya taburi garam. Sebelumnya, irisan jeruk nipis telah saya peras untuk membasahinya. Dengan dicocolin pada sambal rica-rica, potongan ikan nan gurih dan empuk ini, menjadi makanan pokok siang itu. "Selama ini nasi telah memenuhi porsi utama piring saya jika sedang makan. Sekali-kali kini ikan. Gratis lagi", saya menggumam sambil mesam mesem.

Menghabiskan aneka makanan dengan penuh ragam menu, ternyata perlu menghabiskan waktu yang cukup lama. Belum ketawa ketiwi, sambil ngobrol. Setelah hampir tiga jam menyantap makanan, saya diantar Tim yang menjemput, segera menuju hotel Ritzy. Rencananya saya dua malam di hotel ini, sampai Sabtu. Walaupun Minggu masih ada di Manado, tapi hari Sabtu, kami mesti berpindah hotel, karena ada Kongres ISEI di Manado. Rencananya, presiden bermalam di hotel ini.

Hotel Ritzy terletak di depan boulevard Teluk Manado. Di depannya persis pantai, yang mulai dipenuhi dengan bangunan ruko dan pusat perbelanjaan. Jalan, ruko dan pusat perbelanjaan yang ada adalah hasil reklamasi pantai. Termasuk saat itu, alat-alat berat juga masih terus melakukan pengurukan untuk reklamasi.

Di depan hotel, banyak taksi yang mangkal. Taksi di Manado bukan sedan seperti di Jakarta. Tapi jenis kendaraan niaga, Panther atau Kijang. Yang menarik adalah angkotnya. Semua angkot di Manado posisi kursinya menghadap ke depan. Persis seperti mobil Kijang, walaupun jenisnya lebih kecil, sejenis Suzuki Carry.

Yang heboh sekarang adalah angkotnya berlomba-lomba memasang peralatan audio dengan yahud. Suaranya dem...dem..., lengkap dengan equalizer-nya. "Anak-anak muda di Manado tidak akan mau naik jika angkotnya tidak dilengkapi musik. Ya, sedang trend di sini.", kata seorang anggota Tim yang menjadi pemandu saya selama di Manado.

Jamuan makan malam hari itu, kami lewati di atas pantai. Restoran RIA RIO, yang lumayan besar dan luas, berdiri kokoh di atas laut, di tepi pantai. Dari arah hotel Ritzy, lurus, melewati boulevard. Di tempat ini, banyak berjejeran restoran serupa. Seperti Restoran KARISMA, yang kelak kami singgahi pada malam berikutnya.

Menunya tidak jauh berbeda dengan saat kami baru tiba di Manado, di Rumah Makan Mapanget. Semua jenis sea food disajikan. Udang, cumi, ikan baronang, kuah asam. Tak ketinggalan adalah kepiting yang sangat besar. Seru.

Hari Sabtu, saya makan siang di Restoran HILTOP yang berada di atas bukit, sekitar perjalanan setengah jam dari Hotel GRAN PURI. Saya sudah tidak bisa memperpanjang untuk menginap di hotel Ritzy. Persiapan Kongres ISEI dan kedatangan presiden di hotel itu, membuat kamar tidak ada yang tersisa.

Setelah kenyang menyantap aneka jenis makanan Chinese Food, tujuan saya adalah ke Bukit Kasih di Kanonang, Tomohon. Perjalanan memasuki wilayah Tomohon mengingatkan saya pada jalan di wilayah Magelang yang agak menanjak. Curam. Berkelok, dengan di kanan kiri hamparan pohon kelapa yang berdiri cantik. Rapi.

Dari Manado ke pusat kota Tomohon, memakan waktu sekitar satu setengah jam. Sepanjang jalan, tak henti-hentinya handycam saya nyalakan. Pemandangan bendera-bendera negara asing, mencengangkan saya. "Pak, kalau Piala Dunia jangan heran semua rumah memasang bendera negara jagoan mereka", kata Edwin, yang menjadi pemandu saya saat itu.

Saya jadi teringat, sehari sebelumnya pemandangan hampir serupa saya temui di jalan-jalan di kota. Bedanya, bendera dengan ukuran kecil, dipasang di mobil-mobil, bahkan angkot. Rupayan, menjadi tradisi khusus masyarakat Manado. Tak peduli di pelosok desa, semua memasang bendera negara kesebelasan yang mereka cintai. Seolah berlomba, mereka memasang tinggi-tinggi di atas atap rumah. Dengan tiang bambu.

Setelah berjuang menahan rasa kantuk selama di jalan dan puas mengambil gambar, saya sampai juga di Bukit Kasih. Pandangan mata saya langsung tertuju kepada dua patung yang menempel di atas bukit. Ukuran besar, tampak muka. Sepertinya lelaki dan perempuan. Kata Rifan, pemandu lokal kepada saya, "Itu mencerminkan gambar pendahulu masyarakat Manado".

Seperti layaknya tulisan Hollywood, di atas bukit, tertera t ulisan BUKIT KASIH dengan ukuran yang cukup besar. Di lembah bukit, tampak gelembung air menyemburkan asap yang tebal. Rupanya itu adalah kolam air panas. Yang membuat saya terheran-heran, kolam air panas inilah yang menjadi "media rebus" telur ayam kampung yang dijual di warung-warung kopi di tempat ini.

Akibat hawa dingin dan suasana lembab yang saya rasa, warung kopi menjadi tujuan saya untuk sekadar istirahat sebentar sebelum mendaki puncak bukit ini. Saya minta diseduhkan kopi tubruk ukuran besar, dan telur rebus setengah matang dua butir. Bergegas Om Warung memasukkan telur ke kantong plastik, untuk selanjutnya dengan menggunakan bambu, dicelupkan ke kolam air panas di depan warung. Tidak butuh waktu lama, hanya sekitar lima menit, telur diangkat. Ditaburi merica dan garam, telur tersebut saya kocok di gelas kecil. Glek...seketika kerongkongan saya terasa hangat.

Minum kopi tidak lengkap jika tanpa makan kacang sangrai Kanonang. Kacangnya besar-besar, bersih, dan monjo (English = worthed). Tanpa terasa, perut sudah kenyang. Kini giliran saya mesti mendaki puncak Bukit Kasih. Rifan dan Om Le, dua orang pemandu lokal, mengantarkan saya. "Pak kita jalan lewat tengah bukit saja. Cepat. Tidak perlu menaiki tangga itu", kata Rifan sambil menunjuk tangga berundak yang disediakan buat pengunjung.

Dengan berjalan melalui tebing curam ini, sangat berbahaya tentunya. Bahaya itu baru saya sadari saat sudah tiba di separuh perjalanan mendaki bukit. Saya yang tidak ada pengalaman pencinta alam benar-benar mengalami ketakutan yang luar biasa. Apalagi, saat harus melangkah dan menapaki batu yang harus tepat pijakannya. Saya minta turun. Tapi, justru kalau turun malah lebih berisiko karena medannya yang sangat curam. Baru saya sadari, kesalahan saya karena seringnya saya melihat ke bawah. Mestinya, saya tinggal mendaki saja, tanpa harus sebentar-bentar menengok ke bawah.

Akhirnya setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam, saya tiba di puncak Bukit Kasih. Di puncak, gambaran kedamaian dan keindahan sebuah keberagaman, benar-benar diciptakan. Ada masjid, gereja, pura dan vihara. Oleh pemerintah Kota Tomohon, bukit ini memang diciptakan untuk mencari ketenangan. Mendekatkan diri kepada Tuhan.

Saya memang tidak ke Bunaken kali ini. Entah kapan, saya ada kesempatan pergi ke Manado lagi. Saya ingat saat tim rombongan mengantar kepulangan saya ke Jakarta, Minggu siang. Kata mereka, "Torang Samua Basudara".

Di pesawat saya melamun. "Orang-orang Kawanua sangat terbuka. Senang makan dan kongkow-kongkow. Asik. Tidak tampak basa-basi yang kadang benar-benar basi. Menyesal rasanya jika saya tidak segera kembali. Ke Bumi yang Diberkati Tuhan, dan Semakin Diberkati." Saya tertidur. Pulas.

(Kundiyarto M. Prodjotaruno)

Sitinggil di Trowulan

Saya belum bisa membayangkan di mana letak Mojokerto dari Surabaya. Ini saya rasakan sampai dengan menjelang keberangkatan saya ke kota yang dulu kala merupakan ibu kota kerajaan Majapahit.

Di Mojokerto, peninggalan jaman Patih Gajah Mada masih jelas jejaknya. Salah satunya adalah situs Sitinggil di Trowulan, sekitar 30 menit dari pusat kota Mojokerto, yang sempat saya datangi. Situs yang menurut cerita, konon, dulu menjadi tempat raja menyampaikan titah dan tempat bersemadi. Tumpukan batu bata yang besar terlihat seperti foto di samping saya ini.

*****

Awal bulan Juni, saya kebetulan ada tugas ke wilayah Jawa Timur. Tujuan saya selain Mojokerto adalah Jombang. Kalau ada waktu sekalian mampir ke Madiun.

Sehari sebelum berangkat, saya sempatkan membeli peta Jawa Timur di GRAMEDIA Plasa Semanggi. Saya sama sekali belum pernah bepergian ke daerah ini. Surabaya sekali pun. Saya baru tahu kalau untuk ke Mojokerto, dari bandara Juanda Surabaya, mesti melewati Sidoarjo.

Pas hari keberangkatan, setelah tiba di bandara Juanda, saya langsung mencari rental kendaraan. Teman saya memberi tahu, di Juanda banyak sekali rental mobil. "Gampang Kun", katanya. Nyatanya memang begitu. Gampang. Ingat pesan teman saya, menjadikan saya tidak ambil pusing. Begitu ada satu orang yang menawarkan jasa rental mobil, saya langsung mengiyakan. Saya takut kesiangan. Waktu itu jam sepuluh, sedangkan saya janji di Mojokerto jam satu siang.

"Daripada terlambat, mendingan langsung saja", pikir saya. Nyatanya saya salah pilih. Kendaraan yang saya tumpangi jenis Kijang lama yang AC nya sudah tidak dingin lagi. Dari segi fisik sih lumayan. Tapi begitu jalan, hanya semburan blower yang saya rasakan. Mau turun ganti mobil, kasihan juga. Akhirnya perjalanan saya ke Mojokerto selama lebih kurang empat puluh lima menit, dilalui dengan ketidaknyamanan. Gerah.

Sampai di Mojokerto, yang kami cari adalah Hotel Slamet. Bersih, dan cukup layak untuk beristirahat. Jangan harap bakal ditemui hotel berbintang di kota ini. Begitu selesai check in, saya langsung memutuskan mencari tempat makan. Berbekal informasi di internet lewat www.ayojajan.com, saya menuju DEPOT ANDA. Saya diyakinkan lagi setelah sopir yang saya ajak menanyakan ke orang yang kami temui.

Tidak salah jika saya memilih DEPOT ANDA. Rumah makan yang berjarak sekitar 100 meter dari Hotel Slamet, sudah berdiri sejak tahun 60-an. Sekarang saja sudah memasuki generasi yang kedua pengelola rumah makan ini. Menu yang tersedia adalah nasi rawon, sop buntut, sop buntut bakar, nasi pecel dan soto. Ada juga nasi rames. Aksesorisnya lumayan lengkap. Emping, kacang, rempeyek, tempe, tahu atau daging empal.

Hari itu saya mencoba nasi pecel. Pedas, dan bumbunya kacangnya agak putih. "Tidak semerah pecel yang biasanya saya makan", saya membatin. Pelengkap nasi pecel adalah rempeyek udang. Saya merasa belum sukses siang itu. "Mestinya tadi saya makan nasi rawon", sesal saya sambil melihat sopir yang makan amat lahap di depan saya.

(Kundiyarto M. Prodjotaruno/bersambung)

New Page 1