Soto Gandaria

Di warung soto ceter ini, sate jeroan ayam—sebagai pelengkap makan soto selain kerupuk kulit ayam dan kerupuk udang—dikelompokkan. Tidak seperti di warung bubur ayam, yang kadang digabung menjadi satu, tidak dipisah-pisah. Di sini, hati ditusuk menjadi satu, terdiri dari lima potong. Begitu pula ampela atau telur ayam yang belum jadi, pun terdiri dari lima potong. Yang terakhir, seperti yang tersedia di beberapa warung sate ayam yang begitu tersohor—Sate Santa, Sate Sambas, atau Sate depan RS Pertamina. Warnanya kuning sebesar telur puyuh. Gurih, tapi tidak bisa dihindari, jelas mengandung kadar kolesterol yang cukup tinggi.

Menempati areal di sepanjang "trotoar" Taman Gandaria, untuk masuk ke soto ceker ini, dari arah Pakubuwono, terus melewati Jalan Bumi, belok kanan arah Pasar Taman Puring langsung ambil kiri ke arah Gandaria, tepatnya Jalan Gandaria I. Di arah kiri akan ditemui Jalan Gandaria V, ambil satu jalan lagi, tepatnya Jalan Gandaria VI.

Jangan lupa, yang sedang saya ceritakan adalah soto kedua, yang terletak setelah warung soto yang pertama. Persis begitu kita masuk di belokan yang kedua ini, akan ditemui warung soto ceker yang pertama, dengan spanduk terbentang berukuran sekitar 1 X 1 M, bertuliskan Soto Ceker Arifin. Di sini semua pelayan menggunakan kaos seragam. Kalau memang ingin mencoba keduanya untuk merasakan perbedaan baik cita rasa maupun suasananya, boleh juga kita mencoba soto ceker yang pertama, yang sebetulnya "crowd" nya terlihat juga tatkala kita melintas ke arah Radio Dalam dari kawasan Taman Puring, di Jalan Gandari I tadi.

Kembali ke soto ceker yang kedua itu. Kita masuk lagi, hingga menemui bundaran taman yang separuhnya dikelilingi hamparan meja panjang—masing-masing berkursi untuk enam orang. Di atas meja, menyala dengan temaram dua buah lilin yang ditempatkan dalam gelas plastik bekas air mineral. Gerobak khas kaki lima sebagai pusat pelayanan, berdampingan dengan warung rokok dan minuman dingin. Di sini, semua pelayan bebas berbusana. Kebanyakan menggunakan T-Shirt. Tidak seperti di warung soto pertama, yang berkaos warna merah dan berkerah, bertuliskan Soto Ceker Arifin.

Seperti saya kabarkan ke teman-teman semua di milis ini, saya beberapa kali dan sering, makan soto ceker, berdua dengan rekan kerja saya, sehabis pulang kerja. Biasanya pukul tujuh malam. Setelah merasakan kualitas cita rasa yang lebih pas di warung soto ceker yang kedua, saya sudah tidak pernah lagi menyantap Soto Ceker Arifin yang terletak di depan itu. Beberapa kali pula, saya ceritakan kepada bos saya, sensasi berbeda tatkala kita makan soto ceker yang dilanggan setia oleh kalangan muda, mahasiswa, orang kantoran dan eksekutif muda, hingga para pegawai negeri dari Kantor Dinas DKI. Beberapa kali saya temui orang-orang berseragam kantor, khas PNS.

Semalam, akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu datang juga. Setelah keinginan menyantap Bakmi Permata tidak terlaksana karena telanjur ke luar dari Wisma 46, saat balik ke arah Pondok Indah, di kawasan Jalan Sudirman, saya berucap, "Mumpung melewati, mungkin ini saat yang tepat kita mencoba soto ceker itu Pak". Bos saya mengiyakan—walaupun dari ekspresinya, mungkin ia masih setengah-setengah, atau ada perasaan sungkan dan enggak enak karena seringnya saya mengajak untuk mencoba makan soto yang buka sejak pukul setengah enam sore ini kepadanya. Untuk Bakmi Permata, dari beberapa lokasi yang ada, Bakmi Permata Wisma 46 menurut saya adalah yang paling enak, selain lokasinya yang paling besar—sebelum sekarang ada outlet di Plaza Indonesia yang sangat luas itu.

Malam itu, cuaca sangat cerah. Bulan di langit hampir saja muncul penuh. Ini bukan saat bulan purnama. Kami tiba sekitar pukul tujuh lewat beberapa menit. Sampai di Kawasan Taman Gandaria, semua meja penuh. Saya bilang ke salah satu pelayan, kami perlu tempat duduk untuk empat orang. Pelayan itu mengantarkan kami ke satu meja yang terletak di ujung. Di sini, meja-meja mengeliling kawasan taman, hampir setengahnya. Ada sekitar tujuh meja, masing-masing berisi enam orang. Meja yang dimaksud pelayan tadi, bukan tidak ada pengunjungnya, hanya, meja terakhir ini, diisi oleh dua orang pengunjung, hingga menyisakan empat kursi buat kami.

Meja lain, semua penuh ! Wow ! Bayangkan saja, jika satu rombongan (biasanya yang datang ke sini selalu berombongan, paling tidak berdua) memerlukan waktu setengah jam untuk makan, maka dalam waktu itu pula, empat puluh orang lebih, telah membelanjakan paling tidak 1o ribu per orang. Hampir setengah juta, diperoleh dalam waktu setengah jam saja.

Dengan memperkirakan jam beroperasi hanya lima jam (buka sejak pukul setengah enam sore dan biasanya pukul 10an malam sudah habis), teman saya memperkirakan setidaknya ada sekitar 300-500 porsi setiap malam disajikan di warung soto yang minumannya, seperti jeruk panas dan teh botol, disajikan dari penjual lain di sampingnya. "Ya mereka bisa transfer price", kata kawan saya.

Kami beruntung, ketika pesanan kami datang, bertepatan dengan selesainya makan kedua orang yang satu meja dengan kami. Saya dan teman saya, pesan dua porsi soto ceker (satu mangkuk hanya berisi kaki ayam, tanpa bihun dan tauge, lalu disiram kuah soto). Ini dikenal dengan sebutan, oleh para pelayan, "cekernya saja Mas ?". Bos saya dan seorang kawan lainnya, pesan soto ayam. Soto ayam di sini, terdiri dari bihun, tauge, suwiran daging ayam, dan, yang sudah pasti ceker ayam yang mak nyus itu. Jika disajikan begini, cekernya hanya berisi dua. Kalo "cekernya saja", saya lupa, berisi antara tujuh atau sepuluh.

Tak lupa, kerupuk kulit ayam dan kerupuk udang kami minta untuk disajikan. Bos saya menikmati dengan lahap sepiring nasi putih yang terpisah dengan soto ayam. Di sela-sela menyantap soto ayam itu, ia dengan nada protes bilang ke saya, "Wah Kun, ceker saya hanya ada dua. Minta jatah kamu ya !". Akhirnya agar tidak kantu dan tidak mengurangi kenikmatan selama kami makan, saya pesan lagi satu porsi "cekernya saja".

Saya menyeruput kuah soto di warung ini, dengan bibir yang masih membuka sehabis meneguk cita rasa gurih dan segar dari kaldu kaki ayam yang tidak meninggalkan bekas rasa eneg itu. Sebelum saya seruput, tak lupa dua potong jeruk nipis saya peras, agar lebih memberikan rasa segar pada kuah soto ini. Sambal cabe, saya tuang sedikit dari botol. Saya tidak menambahkan kecap manis. Bolak-balik, bibir saya berdesis dan membuka, "sshhhtt...hmm..am....". Sangat berbeda ketika kita mengecap jamuan makan resmi yang mengharuskan bibir nyaris selalu terkatup.

Seperti di warung-warung soto lainnya, di warung soto ceker ini, di setiap meja disediakan sebotol kecap manis dan sambal cabe, yang terbuat dari tumbukan cabe rawit merah. Makan di sini kita tidak perlu jaim. Ceker saya pegang langsung dengan tangan. Kadang bergantian tangan kiri dan kanan. Tulang yang tersisa, saya muntahkan ke bawah di sela-sela kedua kaki saya. Bos saya agak rikuh. "Kun, tulangnya dibuang di bawah sini gak papa", katanya sambil menengok ke bawah, yang di kolong meja ada seekor kucing sedang berpesta menghabiskan sisa tulang yang kami makan.

Bos saya sedang menikmati suasana lain yang tentu berbeda sensasinya ketika kita makan kaki ayam yang ada di MING Setiabudi One, atau di The Duck King PIM 2, yang berkursi empuk, berpendingin ruangan, peralatan makan yang mewah dan para pelayan selalu berdiri di samping kita untuk sekadar menuangkan teh kita yang sudah habis, atau mengganti peralatan makan kita yang sudah terlihat kotor dan baru saja kita pakai. Di kedua resto kelas atas ini kaki ayam begitu kelihatan cantik dan gemuk, tersaji di atas tempat dimsum dari anyaman bambu.

Kaki ayam itu berwarna menarik—kadang merah, sedikit kuning, tergantung cara pengolahan dan borehan bumbu atau proses perendaman sebelum kaki ayam itu dimatangkan. Kalau di warung soto malam itu, kaki ayamnya tidak jarang ada satu-dua yang hancur, karena proses perebusan yang memerlukan waktu lama, agar kulit-kulit kakinya, mudah kita santap. Namun demikian, bagi saya, tetap saja "cita rasa rempah-rempah tradisional", sering kali mengalahkan semua cita rasa restoran kelas atas atau hotel-hotel berbintang, yang, hanya mengandalkan aneka rasa dan jenis saus.

Di warung sato ceker yang menggunakan mangkuk lebih besar dari pada yang biasanya kita temukan di warung bakso atau warung soto kebanyakan, nasi putih, seperti biasanya di tempat-tempat makan lainnya, disajikan dengan taburan bawang goreng, agar ketika makan menjadi lebih nikmat. Mengenai kuah sotonya, sejatinya kuah di warung soto ceker ini tidak terlalu bening seperti soto semarangan, tetapi juga tidak sekeruh soto lamongan—yang amat keruh karena ada taburan poya-nya.

Tapi yang jelas, kuah di sini tidak bersantan. Rasanya tidak terlalu tajam dan pedas karena kandungan jahe dan sereh nya yang memang tidak terlalu dominan. Tidak pula terlalu asin. Tapi lebih cenderung gurih. Ini tak terhindarkan karena kandungan kaldu dari ribuan kaki ayam yang direbus bersamaan. Bayangkan, jika semalam tersaji 300 porsi dengan masing-masing berisi 10 kaki ayam, maka ada 3000 kaki ayam yang harus dimasak setiap hari.

Malam itu, kami berempat, dengan menyantap lima porsi soto, tujuh sate, empat kerupuk kulit, satu kerupuk udang, segelas jeruk panas, tiga porsi nasi putih, dan tiga teh botol, menghabiskan delapan puluh lima ribu rupiah. Nasi putih di sini satu porsi hanya dua ribu. Soto, apa pun penyajiannya, satu porsi harganya tujuh ribu.

Selama hampir setengah jam lebih kami makan, saya hitung ada sekitar 10 orang yang sedang mengantre di sekitar kami. Mereka menunggu sambil berdiri dan menenggak sebotol minuman dingin. Begitu kami selesai dan berdiri, seketika tiga orang langsung menempati kursi yang kami tinggalkan.

Sambil beranjak pulang, saya bertanya ke bos saya, "Bagaimana Pak ?"

"Enak Kun. Betul !", tuturnya sambil menyalakan sebatang rokok putih kesukaannya, Capri.


(Ciputat, 11/10/2008)

New Page 1